Kata al-‘ulama’ (العلماء) adalah bentuk jama’ dari kata al-‘alim (العليم) yaitu yang memiliki pengetahuan. Selain bentuk jama‘ dari kata al-‘alim juga diambil dari kata al-‘alim (العالم) yaitu mengetahui secara jelas. Makna kata al-‘ulama’ dan al-‘alimun adalah berbeda karena kata al-‘ulama’ adalah jam‘ al-taksir (جمع التكسير) dari kata al-‘alim (العليم) sedangkan kata al-‘alimun adalah jam‘ al-mudhakkar al-salim (جمع المذكر السالم) dari kata al-‘alim (العالم). Kata al-‘ulama’ (العلماء) disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 2 (dua) kali dan kata al-‘alimun (العالمون) sebanyak 5 (lima) kali, sedangkan kata al-‘alim (العالم) terdapat sebanyak 13 (tiga belas) kali.
Penggunaan kata al-‘ulama’ dalam al-Qur’an selalu diawali dengan ajakan merenungi keadaan alam sedangkan kata al-‘alimun merenungi peristiwa yang sudah terjadi sebagai bahan evaluasi. Adapun penggunaan kata al-‘alim dalam bentuk tunggal semuanya mengacu hanya kepada Allah dan selalu diiringi dengan penciptaan bumi dan langit serta hal-hal yang ghaib dan yang nyata.
Berdasarkan pernyataan ayat-ayat al-Qur’an di atas maka dapat dipahami bahwa yang disebut dengan ulama adalah orang-orang yang memiliki kemampuan berpikir tentang alam sehingga hasil dari pemikirannya dapat membuahkan teori-teori baru. Teori-teori inilah yang nantinya dapat membangun peradaban yang tinggi sehingga tugas kekhalifahan dapat dijalankan dengan sempurna. Inilah alasan yang dapat dikemukakan ketika Rasulullah menyatakan bahwa pewaris para nabi adalah al-‘ulama’ bukan al-‘alimun.
Kelompok yang mengartikan ulama dari segi sikap menyatakan bahwa ulama ialah orang-orang yang takut terhadap kekuasaan Allah. Pengertian ulama melalui sikap ini terkesan mempersempit pengertian terhadap ulama sehingga keulamaan seseorang ditentukan oleh sikap yang dimilikinya padahal dalam pengetahuan adalah nihil. Demikian juga bila ulama diartikan dari segi pengetahuan akan terkesan bahwa orang-orang yang berilmu banyak adalah ulama padahal ilmu yang dimilikinya berpeluang untuk melakukan kejahatan-kejahatan.
Pengertian ulama yang paling ideal adalah mengacu kembali kepada penegasan al-Qur’an yaitu orang-orang yang berilmu pengetahuan karena selalu membaca alam dan dampak dari bacaannya ini menimbulkan sikap takut kepada Allah. Oleh karena itu ulama adalah perpaduan antara kepentingan ilmu pengetahuan dan kepentingan moral.
Prinsip yang mendasar dari kedua pandangan ini tetap saja mengacu kepada teks-teks al-Qur’an namun perbedaan pandangan ini seharusnya dikompromikan supaya saling melengkapi karena munculnya sikap adalah ekses dari ilmu pengetahuan. Karakteristik ulama yang sesungguhnya sama dengan karakteristik para nabi yang pada satu sisi bertugas sebagai pembawa risalah dan pada sisi lain bertugas sebagai ri’asah.
Ulasan yang dikemukakan oleh Hamka tentang pengertian ulama terkesan cukup menarik. Menurutnya bahwa ulama bukanlah orang-orang yang mengetahui hukum-hukum agama secara terbatas, dan bukan pula orang-orang yang hanya mengkaji kitab-kitab fiqh, dan bukan pula ditentukan oleh jubah dan serban besar. Malahan dalam perjalanan sejarah telah kerapkali agama terancam bahaya karena serban yang besar.
Perasaan takut ulama kepada Tuhan sebagaimana yang ditegaskan oleh al-Razi karena mereka sudah sampai kepada pendalaman ma‘rifat yang sebenarnya. Prinsip rasa takut kepada Tuhan muncul setelah mengenal sifat-sifat-Nya yang mulia dan perbuatan-perbuatan-Nya yang serasi. Faktor lain menyebabkan takutnya ulama kepada Allah karena pembelaan-Nya kepada ulama dari ancaman orang-orang kafir.
Fenomena kehidupan sosial menunjukkan bahwa telah terdapat (4) empat tahap pergeseran makna ulama. Pertama, ulama dipahami sebagai orang-orang yang memiliki disiplin ilmu yang tidak hanya terbatas kepada bidang agama saja. Kedua, dipahami sebagai orang-orang yang hanya menguasai disiplin ilmu agama dalam berbagai aspek seperti tawhid, tasawuf dan fiqh. Ketiga, hanya terbatas kepada orang-orang yang memahami tentang hukum (fiqh). Keempat, ulama dipahami berdasarkan model pakaian yang digunakannya.
Pergeseran makna ini akhirnya menjadikan kriteria ulama semakin menyempit dan bahkan semakin mudah karena hampir semua orang dapat menjadi ulama. Implikasi yang sangat mudah dirasakan adalah dampak dari fatwa yang dikeluarkan ulama yang seolah-olah tidak memiliki landasan filosofis hukum yang kuat. Fatwa ulama dalam kriteria yang seperti ini sangat mudah dipolitisir dan kekuatannya sangat tentatif karena tidak berakar kepada prinsip kebenaran.
Muhammad Baqir al-Majlisi mengutip pernyataan ‘Ali bin Abi Talib yang membagi golongan ulama kepada 3 (tiga) golongan. Pertama, kaum terpelajar yang sering memamerkan diri dan suka sekali berdebat. Kedua, kaum terpelajar yang hanya ingin mencari kekayaan dan bahkan mereka juga tidak segan-segan menipu. Ketiga, kaum terpelajar yang mendalami keilmuwan dan logika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar