Kolom Iklan

Jumat, 15 Agustus 2008

ARTI TAKWA ADALAH CINTA

Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, M.A.



Musibah ada di mana-mana dan bisa terjadi kapan saja. Yang penting bagi kita ialah bagaimana menyikapi musibah itu seandainya ia datang menimpa kita atau anggota keluarga kita. Misalnya hujan. Curah hujan yang melebihi batas normal kadang-kadang tidak lagi berfungsi sebagai rahmat, tetapi bisa menjadi suatu laknat, apalagi jika mendatangkan banjir. Dengan demikian, ini bisa disebut dengan musibah kecil. Seperti kita tahu, musibah atau kesulitan-kesulitan hidup itu sisi lain dari kehendak Tuhan untuk menyapa hamba-Nya. Seolah-olah Allah merindukan hamba-Nya, sehingga Dia merindukan mereka dalam bentuk musibah. Musibah adalah sebentuk surat cinta Tuhan kepada kekasih-Nya.

Kenapa musibah disebut surat cinta? Karena mungkin pada suatu saat, seseorang itu tidak sanggup untuk mendekati Tuhan, terlena dengan kemewahan duniawi yang ada pada dirinya, sehingga tertutup pintu batinnya, tidak lagi sensitif dan tidak lagi ada kerinduan terhadap Tuhannya. Seringkali kerinduan terhadap Tuhan itu muncul manakala dipancing oleh hadirnya musibah. Seringkali tanpa musibah, seseorang lupa terhadap Allah Swt. Pengalaman-pengalaman yang mengecewakan, seperti adanya gangguan-gangguan yang menghambat normalitas kehidupan kita, harus dimaknai bahwa ini adalah cara Tuhan untuk mengingatkan kita.

Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS. Ali Imrân [3]: 102)

Ayat ini merupakan panggilan khusus untuk orang yang beriman. Mereka diminta untuk bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa, dengan puncak takwa. Meskipun di dalam ayat lain dikatakan, "Bertakwalah kepada Allah sebatas kemampuanmu." (QS. At-Taghabûn [64]: 16). Allah Maha adil. Kalau seandainya standar ketakwaan itu memakai standar ketakwaan Rasulullah, atau para aulia, kita sebagai orang awam tentu sulit untuk mencapainya. Tetapi Allah Mahatahu bahwa tidak semua hamba-Nya sama pengalaman batinnya dan tingkat makrifahnya.

Apa perbedaan ayat pertama dan ayat kedua?

Ayat pertama meminta kita untuk bersikap maksimal mewujudkan ketakwaan itu di dalam diri kita. Tetapi kalau kita sudah berusaha, dan ternyata masih jauh dari standar ketakwaan itu, jangan khawatir karena ada firman Allah yang lain, "Bertakwalah sebatas kemampuanmu." Jangan berkecil hati kalau ketakwaan kita tidak bisa menyamai Rasulullah dan para wali. Yang penting kita sudah berusaha sekuat kemampuan kita, kemudian terimalah apa adanya diri kita.

Apa yang dimaksud dengan takwa?

Banyak orang mengartikan takwa sebagai takut terhadap Allah. Sebetulnya terjemahan ini tidak sepenuhnya tepat. Memang salah satu pengertian takwa adalah takut, tapi itu hanya kira-kira 30% benarnya. Takut hanya salah satu komponen dari takwa, tetapi komponen terbesarnya bukan takut. Komponen yang sangat penting dari takwa adalah cinta kepada Allah. Di kalangan sufi, takwa itu diartikan dengan cinta terhadap Allah. Di kalangan fukaha, takwa itu adalah takut terhadap Allah. Kombinasi antara takwa dan takut, itulah pengertian takwa yang ideal bagi kita.

Sesungguhnya Allah Swt. bukanlah sosok yang sangat mengerikan sehingga kita harus takut terhadap-Nya. Melainkan Allah Swt. adalah sosok yang Mahaindah untuk dicintai, sosok yang Maha Pengasih, sosok yang Mahalembut. Dengan demikian, takwa itu di satu sisi kita takut dan segan kepada Allah, di sisi lain, kita mencintai-Nya.

Miniatur sikap kita terhadap Allah itu persis sikap kita terhadap kedua orang tua kita. Di satu sisi kita segan dan takut terhadap orang tua, pada sisi lain kita juga butuh dan cinta terhadap mereka. Sekalipun kita dimarahi, sekalipun kita dipukul, tetap orang yang paling kita cintai adalah kedua orang tua kita. Sekalipun Tuhan menurunkan musibah, sekalipun Tuhan sering menguji kita, tetapi yang kita cintai hanya Allah Swt. Inilah pengertian kongkret yang bisa kita ukur dari pengertian takwa.

Bertakwalah kepada Allah Swt., artinya takutilah dan cintailah Allah Swt. Kadang-kadang Allah tampil sebagai sosok yang Mahabesar untuk ditakuti, terutama bagi para pendosa. Bagi orang yang baru saja melakukan dosa, di situ Tuhan akan tampil sebagai Yang Maha adil, Yang Maha Penghukum, bahkan Yang Maha Penyiksa, sehingga orang yang berdosa menjadi ciut nyalinya dan tidak berani lagi melakukan dosa.

Tapi Allah Swt. akan tampil sebagai sosok yang Maha Mencinta di hadapan orang yang melakukan ibadah. Orang yang melakukan ibadah dan kebaikan-kebaikan dengan ikhlas, tidak usah takut terhadap Allah. Baginya, yang paling tepat adalah mencintai Allah.

Siapapun orang yang beriman, yang berdosa pasti akan merasa takut kepada Allah. Dan siapapun orang yang beriman, yang telah beribadah dengan sungguh-sungguh dan ikhlas, pasti ada muncul rasa cinta di dalam dirinya kepada Allah dan harapan yang besar untuk mendapatkan cinta-Nya. Dengan demikian, pola relasi manusia dan Tuhan adalah pola relasi takut dan cinta. Inilah Islam.

Agama-agama lain tunggal pola relasinya, dan umumnya mengandalkan pola relasi takut kepada Tuhannya atau dewa-dewanya. Itulah sebabnya dalam agama lain diperlukan mediasi antara manusia dan Tuhannya atau dewanya. Bahkan ada yang menggambarkan dewanya dengan gambaran yang mengerikan. Kalau perlu dibuatkan patungnya dengan sosok yang besar, wajah yang angker, taringnya mencuat, bahkan membawa alat pemukul (gada). Supaya apa? Itu sebagai mediasi agar jiwa si penyembah takut kepada yang disembahnya. Semakin takut, semakin tinggi kedekatannya dengan Tuhan. Semakin takut, semakin hebat ibadahnya.

Dalam Islam tidak mesti seperti itu. Allah Swt. bukan sosok yang Maha Mengerikan untuk ditakuti, tapi lebih menonjol sebagai Tuhan Maha Penyayang untuk dicintai. Kalau pola relasi kita itu takut, kita akan menggambarkan Tuhan itu transenden, jauh sekali. Tapi kalau pola relasi cinta yang kita bangun, seolah-olah Tuhan itu amat dekat dengan diri kita. Firman Allah dalam Alquran: "Sesungguhnya Aku lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya sendiri." (QS. Qâf [50]: 16)

Di kalangan sufi sering muncul pertanyaan, apakah Tuhan berada dalam diriku ataukah aku berada dalam diri Tuhan? Begitu dekatnya Tuhan dengan hamba, dan kedekatan ini polanya adalah relasi cinta. Hemat saya, inilah pola yang paling tepat bagi kita untuk mendekati Tuhan, yaitu pola relasi cinta. Pola relasi takut, bawaannya adalah formalitas, kering, dan kaku, serta sangat dipengaruhi oleh mood. Tapi pola relasi cinta lebih permanen sifatnya, segar, damai, dan menjanjikan harapan yang indah.

Maka berusahalah untuk lebih mencintai Tuhan, cinta dan cinta kepada Tuhan. Itulah takwa. Sehingga kalau berdoa pun, doanya seperti kaum sufi, "Ya Allah, aku menyembah Engkau bukan karena mengharap surga-Mu, dan aku meninggalkan maksiat bukan karena takut neraka-Mu. Masukkan aku ke neraka-Mu kalau aku menyembah-Mu karena takut neraka. Jauhkan aku dari surga-Mu jika aku menyembah-Mu karena ingin surga. Aku menyembah kepada-Mu, ya Allah, semata-mata karena cintaku yang sangat dalam kepada-Mu."

Luar biasa. Inilah nanti yang memancar dampaknya dalam masyarakat. Apapun yang kita lakukan, penuh dengan kedamaian. Termasuk saat tertimpa musibah atau kesedihan pun, hati kita akan tetap tenang dan ikhlas. Berjumpa dengan saudara, dengan kawan, tersenyum. Damai bawaannya. Kalau cinta terhadap Tuhan membara dalam diri setiap hamba, maka kedamaian antar sesama manusia pun akan tercipta. Insya Allah.

hakekat takwa

from:http://ustadzkholid.wordpress.com/2007/12/25/hakekat-takwa/

Takwa sangat penting dan dibutuhkan dalam setiap kehidupan seorang muslim. Namun masih banyak yang belum mengetahui hakekatnya. Setiap jum’at para khotib menyerukan takwa dan para makmumpun mendengarnya berulang-ulang kali. Namun yang mereka dengar terkadang tidak difahami dengan benar dan pas.Pengertian Takwa.Untuk mengenal hakekat takwa tentunya harus kembali kepada bahasa Arab, karena kata tersebut memang berasal darinya. Kata takwa (التَّقْوَى) dalam etimologi bahasa Arab berasal dari kata kerja (وَقَى) yang memiliki pengertian menutupi, menjaga, berhati-hati dan berlindung. Oleh karena itu imam Al Ashfahani menyatakan: Takwa adalah menjadikan jiwa berada dalam perlindungan dari sesuatu yang ditakuti, kemudian rasa takut juga dinamakan takwa. Sehingga takwa dalam istilah syar’I adalah menjaga diri dari perbuatan dosa.Dengan demikian maka bertakwa kepada Allah adalah rasa takut kepadaNya dan menjauhi kemurkaanNya. Seakan-akan kita berlindung dari kemarahan dan siksaanNya dengan mentaatiNya dan mencari keridhoanNya.Takwa merupakan ikatan yang mengikat jiwa agar tidak lepas control mengikuti keinginan dan hawa nafsunya. Dengan ketakwaan seseorang dapat menjaga dan mengontrol etika dan budi pekertinya dalam detiap saat kehidupannya karena ketakwaan pada hakekatnya adalah muroqabah dan berusaha keras mencapai keridhoan Allah serta takut dari adzabNya.Sangat pas sekali definisi para ulama yang menyatakan ketakwaan seorang hamba kepada Allah adalah dengan menjadikan benteng perlindungan diantara dia dengan yang ditakuti dari kemurkaan dan kemarahan Allah dengan melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan.Berikut ini beberapa ungkapan para ulama salaf dalam menjelaskan pengertian takwa:1. Kholifah yang mulia Umar bin Al Khothob pernah bertanya kepada Ubai bin Ka’ab tentang takwa. Ubai bertanya: Wahai amirul mukminin, Apakah engkau pernah melewati jalanan penuh duri? Beliau menjawab: Ya. Ubai berkata lagi: Apa yang engkau lakukan? Umar menjawab: Saya teliti dengan seksama dan saya lihat tempat berpijak kedua telapak kakiku. Saya majukan satu kaki dan mundurkan yang lainnya khawatir terkena duri. Ubai menyatakan: Itulah takwa.[1]2. Kholifah Umar bin Al Khothob pernah berkata: Tidak sampai seorang hamba kepada hakekat takwa hingga meninggalkan keraguan yang ada dihatinya.3. kholifah Ali bin Abi Tholib pernah ditanya tentang takwa, lalu beliau menjawab: Takut kepada Allah, beramal dengan wahyu (Al Qur’an dan Sunnah) dan ridho dengan sedikit serta bersiap-siap untuk menhadapi hari kiamat.4. Sahabat Ibnu Abas menyatakan: Orang yang bertakwa adalah orang yang takut dari Allah dan siksaanNya.5. Tholq bin Habib berkata: takwa adalah beramal ketaatan kepada Allah diatas cahaya dari Allah karena mengharap pahalaNya dan meninggalkan kemaksiatan diatas cahaya dari Allah karena takut siksaanNya6. ibnu Mas’ud menafsirkan firman Allah: اتَّقُواْ اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ dengan menyatakan: Taat tanpa bermaksiat dan ingat Allah tanpa melupakannya dan bersyukur.Takwa ada dikalbu.Takwa adalah amalan hati (kalbu) dan tempatnya di kalbu, dengan dasar firman Allah Ta’ala:Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati. (QS. 22:32) . dalam ayat ini takwa di sandarkan kepada hati, karena hakekat takwa ada dihati. Demikian juga firman Allah:Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertaqwa. (QS. 49:3)Sedangkan dalil dari hadits Nabi n tentang hal ini adalah sabda beliau: التَّقْوَى هَهُنَا التَّقْوَى هَهُنَا التَّقْوَى هَهُنَا ويُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ [ثَلاَثَ مَرَّاتٍ] بِحَسْبِ امْرِىءٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ اْلمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُّهُ وَعِرْضُهُ Takwa itu disini! Takwa itu disini! Takwa itu disini! –dan beliau mengisyaratkan ke dadanya (Tiga kali). Cukuplah bagi seorang telah berbuat jelek dengan merendahkan saudara muslimnya. Setiap muslim diharamkan atas muslim lainnya dalam darah, kehormatan dan hartanya. (HR Al Bukhori dan Muslim ). Juga hadits Qudsi yang masyhur dan panjang dari sahabat Abu Dzar. Diantara isinya adalah:يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِي مُلْكِي شَيْئًا Wahai hambaKu, seandainya seluruh kalian yang terdahulu dan yang akan datang, manusia dan jin seluruhnya berada pada ketakwaan hati seorang dari kalian tentulah tidak menambah hal itu sedikitpun dari kekuasaanKu. (HR Muslim)Dalam hadits ini ketakwaan disandarkan kepada tempatnya yaitu kalbu. Namun walaupun ketakwaan adalah amalan hati dan adanya dihati, tetap saja harus dibuktikan dan dinyatakan dengan amalan anggota tubuh. Siapa yang mengklaim bertakwa sedangkan amalannya menyelisihi perkataannya maka ia telah berdusta.Ketakwaan ini berbeda-beda sesuai kemampuan yang dimiliki setiap individu, sebagaimana firman Allah :فاتّقوا اللّهَ ما استَطَعتُمBertakwalah kepada Allah semampu kalian.Mudah-mudahan Allah memberikan kepada kita ketakwaan yang sempurna.



[1] Al Jaami’ Liahkam Al Qur’an karya Al Qurthubi 1/162