Musibah ada di mana-mana dan bisa terjadi kapan saja. Yang penting bagi kita ialah bagaimana menyikapi musibah itu seandainya ia datang menimpa kita atau anggota keluarga kita. Misalnya hujan. Curah hujan yang melebihi batas normal kadang-kadang tidak lagi berfungsi sebagai rahmat, tetapi bisa menjadi suatu laknat, apalagi jika mendatangkan banjir. Dengan demikian, ini bisa disebut dengan musibah kecil. Seperti kita tahu, musibah atau kesulitan-kesulitan hidup itu sisi lain dari kehendak Tuhan untuk menyapa hamba-Nya. Seolah-olah Allah merindukan hamba-Nya, sehingga Dia merindukan mereka dalam bentuk musibah. Musibah adalah sebentuk surat cinta Tuhan kepada kekasih-Nya.
Kenapa musibah disebut surat cinta? Karena mungkin pada suatu saat, seseorang itu tidak sanggup untuk mendekati Tuhan, terlena dengan kemewahan duniawi yang ada pada dirinya, sehingga tertutup pintu batinnya, tidak lagi sensitif dan tidak lagi ada kerinduan terhadap Tuhannya. Seringkali kerinduan terhadap Tuhan itu muncul manakala dipancing oleh hadirnya musibah. Seringkali tanpa musibah, seseorang lupa terhadap Allah Swt. Pengalaman-pengalaman yang mengecewakan, seperti adanya gangguan-gangguan yang menghambat normalitas kehidupan kita, harus dimaknai bahwa ini adalah cara Tuhan untuk mengingatkan kita.
Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS. Ali Imrân [3]: 102)
Ayat ini merupakan panggilan khusus untuk orang yang beriman. Mereka diminta untuk bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa, dengan puncak takwa. Meskipun di dalam ayat lain dikatakan, "Bertakwalah kepada Allah sebatas kemampuanmu." (QS. At-Taghabûn [64]: 16). Allah Maha adil. Kalau seandainya standar ketakwaan itu memakai standar ketakwaan Rasulullah, atau para aulia, kita sebagai orang awam tentu sulit untuk mencapainya. Tetapi Allah Mahatahu bahwa tidak semua hamba-Nya sama pengalaman batinnya dan tingkat makrifahnya.
Apa perbedaan ayat pertama dan ayat kedua?
Ayat pertama meminta kita untuk bersikap maksimal mewujudkan ketakwaan itu di dalam diri kita. Tetapi kalau kita sudah berusaha, dan ternyata masih jauh dari standar ketakwaan itu, jangan khawatir karena ada firman Allah yang lain, "Bertakwalah sebatas kemampuanmu." Jangan berkecil hati kalau ketakwaan kita tidak bisa menyamai Rasulullah dan para wali. Yang penting kita sudah berusaha sekuat kemampuan kita, kemudian terimalah apa adanya diri kita.
Apa yang dimaksud dengan takwa?
Banyak orang mengartikan takwa sebagai takut terhadap Allah. Sebetulnya terjemahan ini tidak sepenuhnya tepat. Memang salah satu pengertian takwa adalah takut, tapi itu hanya kira-kira 30% benarnya. Takut hanya salah satu komponen dari takwa, tetapi komponen terbesarnya bukan takut. Komponen yang sangat penting dari takwa adalah cinta kepada Allah. Di kalangan sufi, takwa itu diartikan dengan cinta terhadap Allah. Di kalangan fukaha, takwa itu adalah takut terhadap Allah. Kombinasi antara takwa dan takut, itulah pengertian takwa yang ideal bagi kita.
Sesungguhnya Allah Swt. bukanlah sosok yang sangat mengerikan sehingga kita harus takut terhadap-Nya. Melainkan Allah Swt. adalah sosok yang Mahaindah untuk dicintai, sosok yang Maha Pengasih, sosok yang Mahalembut. Dengan demikian, takwa itu di satu sisi kita takut dan segan kepada Allah, di sisi lain, kita mencintai-Nya.
Miniatur sikap kita terhadap Allah itu persis sikap kita terhadap kedua orang tua kita. Di satu sisi kita segan dan takut terhadap orang tua, pada sisi lain kita juga butuh dan cinta terhadap mereka. Sekalipun kita dimarahi, sekalipun kita dipukul, tetap orang yang paling kita cintai adalah kedua orang tua kita. Sekalipun Tuhan menurunkan musibah, sekalipun Tuhan sering menguji kita, tetapi yang kita cintai hanya Allah Swt. Inilah pengertian kongkret yang bisa kita ukur dari pengertian takwa.
Bertakwalah kepada Allah Swt., artinya takutilah dan cintailah Allah Swt. Kadang-kadang Allah tampil sebagai sosok yang Mahabesar untuk ditakuti, terutama bagi para pendosa. Bagi orang yang baru saja melakukan dosa, di situ Tuhan akan tampil sebagai Yang Maha adil, Yang Maha Penghukum, bahkan Yang Maha Penyiksa, sehingga orang yang berdosa menjadi ciut nyalinya dan tidak berani lagi melakukan dosa.
Tapi Allah Swt. akan tampil sebagai sosok yang Maha Mencinta di hadapan orang yang melakukan ibadah. Orang yang melakukan ibadah dan kebaikan-kebaikan dengan ikhlas, tidak usah takut terhadap Allah. Baginya, yang paling tepat adalah mencintai Allah.
Siapapun orang yang beriman, yang berdosa pasti akan merasa takut kepada Allah. Dan siapapun orang yang beriman, yang telah beribadah dengan sungguh-sungguh dan ikhlas, pasti ada muncul rasa cinta di dalam dirinya kepada Allah dan harapan yang besar untuk mendapatkan cinta-Nya. Dengan demikian, pola relasi manusia dan Tuhan adalah pola relasi takut dan cinta. Inilah Islam.
Agama-agama lain tunggal pola relasinya, dan umumnya mengandalkan pola relasi takut kepada Tuhannya atau dewa-dewanya. Itulah sebabnya dalam agama lain diperlukan mediasi antara manusia dan Tuhannya atau dewanya. Bahkan ada yang menggambarkan dewanya dengan gambaran yang mengerikan. Kalau perlu dibuatkan patungnya dengan sosok yang besar, wajah yang angker, taringnya mencuat, bahkan membawa alat pemukul (gada). Supaya apa? Itu sebagai mediasi agar jiwa si penyembah takut kepada yang disembahnya. Semakin takut, semakin tinggi kedekatannya dengan Tuhan. Semakin takut, semakin hebat ibadahnya.
Dalam Islam tidak mesti seperti itu. Allah Swt. bukan sosok yang Maha Mengerikan untuk ditakuti, tapi lebih menonjol sebagai Tuhan Maha Penyayang untuk dicintai. Kalau pola relasi kita itu takut, kita akan menggambarkan Tuhan itu transenden, jauh sekali. Tapi kalau pola relasi cinta yang kita bangun, seolah-olah Tuhan itu amat dekat dengan diri kita. Firman Allah dalam Alquran: "Sesungguhnya Aku lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya sendiri." (QS. Qâf [50]: 16)
Di kalangan sufi sering muncul pertanyaan, apakah Tuhan berada dalam diriku ataukah aku berada dalam diri Tuhan? Begitu dekatnya Tuhan dengan hamba, dan kedekatan ini polanya adalah relasi cinta. Hemat saya, inilah pola yang paling tepat bagi kita untuk mendekati Tuhan, yaitu pola relasi cinta. Pola relasi takut, bawaannya adalah formalitas, kering, dan kaku, serta sangat dipengaruhi oleh mood. Tapi pola relasi cinta lebih permanen sifatnya, segar, damai, dan menjanjikan harapan yang indah.
Maka berusahalah untuk lebih mencintai Tuhan, cinta dan cinta kepada Tuhan. Itulah takwa. Sehingga kalau berdoa pun, doanya seperti kaum sufi, "Ya Allah, aku menyembah Engkau bukan karena mengharap surga-Mu, dan aku meninggalkan maksiat bukan karena takut neraka-Mu. Masukkan aku ke neraka-Mu kalau aku menyembah-Mu karena takut neraka. Jauhkan aku dari surga-Mu jika aku menyembah-Mu karena ingin surga. Aku menyembah kepada-Mu, ya Allah, semata-mata karena cintaku yang sangat dalam kepada-Mu."
Luar biasa. Inilah nanti yang memancar dampaknya dalam masyarakat. Apapun yang kita lakukan, penuh dengan kedamaian. Termasuk saat tertimpa musibah atau kesedihan pun, hati kita akan tetap tenang dan ikhlas. Berjumpa dengan saudara, dengan kawan, tersenyum. Damai bawaannya. Kalau cinta terhadap Tuhan membara dalam diri setiap hamba, maka kedamaian antar sesama manusia pun akan tercipta. Insya Allah.